Beranda | Artikel
Tausiyah Bada Ramadhan
Selasa, 27 Juni 2017

Bismillah.

Alhamdulillah, merupakan sebuah kenikmatan yang sangat besar bagi kita berjumpa dengan bulan Ramadhan yang telah berlalu beberapa hari. Rindu rasanya hati ini menikmati sejuknya ibadah kepada Allah dan mencicipi berbagai bentuk amal salih dan ketaatan.

Bulan Ramadhan yang belum lama berlalu mengingatkan kita bahwa kewajiban puasa telah diwajibkan pula kepada umat-umat sebelum kita. Hal ini menunjukkan bahwa ibadah puasa adalah sesuatu yang sangat penting lagi utama; sehingga semua umat diwajibkan untuk menjalankannya. Hikmah dari ibadah puasa itu adalah demi membentuk pribadi yang berhias dengan ketakwaan.

Dengan demikian, puasa bukan sekedar menahan dari makanan dan minuman, lebih daripada itu puasa juga menahan lisan dari ucapan yang kotor dan kebatilan serta menahan anggota badan dari segala bentuk kemaksiatan. Puasa Ramadhan menyisakan kenangan yang sangat indah dalam hati setiap insan beriman. Karena puasa menggembleng jiwanya untuk meninggalkan sesuatu yang dia cintai demi meraih sesuatu yang lebih agung dan lebih bermanfaat.

Malik bin Dinar rahimahullah berkata, “Telah keluar para pemuja dunia dari dunia dalam keadaan belum merasakan sesuatu yang paling lezat di dalamnya.” Orang-orang pun bertanya, “Apakah yang paling lezat di dunia itu wahai Abu Yahya?” beliau menjawab, “Mengenal Allah ‘azza wa jalla.”

Nikmatnya beribadah kepada Allah di bulan Ramadhan tidak bisa begitu saja kita lupakan. Sholat malam berjama’ah, buka puasa, sahur, tilawah al-Qur’an, besedekah, dzikir, doa, ruku’ dan sujud kepada Allah dan amal-amal salih lainnya. Semestinya kita bisa mengambil pelajaran dan ibrah bagi kehidupan dari ibadah-ibadah di bulan Ramadhan itu agar kehidupan kita di masa depan lebih baik dan membahagiakan. Seperti yang dinasihatkan oleh Hasan al-Bashri rahimahullah, “Wahai anak Adam, sesungguhnya kamu ini adalah kumpulan perjalanan hari. Setiap hari berlalu maka lenyaplah sebagian dari dirimu.”   

Kehidupan ini adalah perjalanan hari demi hari. Dahulu kita mungkin masih berada di bangku SMP atau SMA sekarang banyak diantara kita yang telah berumah-tangga bahkan memiliki anak-anak yang lucu dan menjadi tumpuan harapan kedua orang tuanya. Ini semuanya pada hakikatnya adalah ujian dari Allah kepada kita; ujian berupa harta dan keturunan. Karena banyak orang diberikan nikmat berupa harta dan keturunan tetapi tidak pandai mensyukurinya. Allah berfirman (yang artinya), “Pada hari itu (kiamat) tidaklah bermanfaat harta dan keturunan kecuali bagi orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (asy-Syu’ara’: 88-89)

Ramadhan telah berlalu dan Allah masih memberikan waktu dan kesempatan bagi kita untuk menatap masa depan. Barangkali masa lalu kita hitam dengan dosa dan kemaksiatan, maka Allah masih bukakan pintu taubat untuk kita selama nyawa belum berada di tenggorokan. Barangkali masa lalu kita kotor dengan keburukan dan kedurhakaan maka Allah masih berikan jalan untuk menempuh kebahagiaan dengan amal salih dan ketaatan-ketaatan.

Ramadhan benar-benar menjadi pengingat bagi kita bahwa hidup di dunia hanyalah sementara, sementara akhirat abadi selama-lamanya. Orang yang cerdas adalah yang beramal dan menyiapkan dirinya untuk menyambut kehidupan setelah kematian, sementara orang yang celaka adalah yang senantiasa memperturutkan hawa nafsu sembari berangan-angan mencapai kebaikan. Kebahagiaan adalah dambaan kita semua, tetapi untuk bahagia ada jalan yang harus ditempuh. Jalan untuk bahagia itu adalah mewujudkan penghambaan kepada Allah Dzat yang telah menciptakan kita. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56)    

Benar, ibadah tidak hanya berupa sholat dan puasa. Ibadah itu sangat luas, mencakup segala perkara yang dicintai dan diridhai oleh Allah, berupa ucapan dan perbuatan yang tampak dan yang tersembunyi. Bahkan menyingkirkan gangguan dari jalan itu bernilai ibadah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Iman itu terdiri dari tujuh puluh lebih cabang, yang tertinggi adalah ucapan laa ilaha illallah, dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu adalah salah satu cabang keimanan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Oleh sebab itu Islam tidak mengajarkan terorisme dan perusakan fasilitas-fasilitas umum serta berbagai bentuk pembunuhan orang-orang yang dilindungi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang membunuh orang mu’ahad –kaum non muslim yang diberi perlindungan- maka dia tidak akan mencium baunya surga.” (HR. Bukhari)

Ibadah puasa Ramadhan memberikan sebuah pelajaran berharga dalam kehidupan masyarakat dan pergaulan umat manusia. Bahwa untuk menjaga ibadah puasa Ramadhan itu dibutuhkan adanya kerjasama dan pengertian antara berbagai pihak. Sebab apabila tidak demikian tentulah kekhusyu’an ibadah puasa Ramadhan akan terganggu dengan berbagai bentuk tindakan yang merusak dan menodai kesucian bulan yang mulia ini. Oleh sebab itu orang yang berpuasa diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila dicela orang lain untuk mengatakan, “Saya sedang berpuasa, saya sedang berpuasa.”   Diantara faidahnya adalah untuk menjaga puasanya dan juga menjaga orang lain dari keburukan ucapan dan tingkah lakunya; inilah indahnya Islam.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang muslim yang baik adalah yang membuat kaum muslim lainnya selamat dari gangguan lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari). Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berpesan kepada kita, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia berkata-kata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ibadah puasa Ramadhan juga memberikan pelajaran tentang kebersamaan dan empati kepada sesama manusia yang menderita kekurangan. Di sinilah Islam mengajarkan kepedulian dan perhatian kepada keadaan umat manusia. Karena itulah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus sebagai penebar rahmat dan kasih sayang bagi segenap insan. Disebutkan dalam sebuah hadits, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sayangilah yang ada di bumi, niscaya Dzat yang berada di atas langit akan menyayangi kalian.” (HR. Tirmidzi, hasan sahih)

Suatu ketika Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama para sahabatnya melewati serombongan tawanan perang. Diantara mereka ada seorang ibu yang mencari-cari bayinya, setiap kali dia bertemu dengan seorang bayi maka dia pun memeluk dan menyusuinya. Pada saat itulah Nabi yang mulia ‘alaihis sholatu was salam ingin memberikan sebuah pelajaran tentang makna kasih sayang. beliau pun bertanya kepada para sahabatnya, “Apakah menurut kalian wanita ini tega melemparkan bayinya ke dalam api?” mereka pun menjawab, “Tentu tidak akan mau, selama dia bisa mencegahnya.” Maka beliau pun bersabda, ”Sungguh Allah lebih penyayang kepada hamba-hamba-Nya daripada wanita ini kepada anak-anaknya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ibadah puasa Ramadhan juga memberikan pelajaran kepada kita untuk memiliki cita-cita yang tinggi dan mulia. Bagaimana tidak? Sedangkan orang yang berpuasa rela untuk tidak makan dan minum serta tidak berhubungan suami istri sejak pagi hingga sore demi mengharapkan keridhaan Allah dan pahala dari-Nya.

Lihatlah apa keutamaan yang akan diperoleh baginya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Barangsiapa berpuasa Ramadhan dalam keadaan beriman dan mengharapkan pahala niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah berlalu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Puasa Ramadhan tidak hanya mengasah hubungan kita dengan Allah yang menciptakan langit dan bumi, bahkan puasa Ramadhan juga mengasah hubungan kita dengan sesama manusia. Hal ini terbukti dengan syari’at untuk membayar zakat fitri di akhir bulan Ramadhan; sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dan pemberi makanan untuk kaum miskin dan dhu’afa’.

Dan diantara hikmah ibadah puasa Ramadhan yang agung itu adalah adanya perjuangan dan tahapan untuk mencapai kemuliaan jiwa. Ibadah puasa mendidik jiwa kita untuk bersih dari penyimpangan dan menjauh dari berbagai bentuk godaan dan tipu daya setan. Inilah yang disebut oleh para ulama dengan jihadun nafs/perjuangan menaklukkan hawa nafsu. Hawa nafsu ada bukan untuk dipuja-puja, tetapi ia akan mendatangkan kemuliaan ketika dikendalikan dengan baik dan disalurkan pada tempat dan kesempatan yang semestinya.   

Untuk bisa mencapai tujuan ibadah puasa maka seorang muslim wajib membekali dirinya dengan ilmu agama. Tidaklah mengherankan jika Nabi shallallahu ‘aalaihi wa sallam bersabda, ”Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan niscaya Allah pahamkan dia dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim). Beliau pun memotivasi kita, “Barangsiapa menempuh jalan dalam rangka mencari ilmu (agama) niscaya Allah mudahkan jalannya menuju surga.” (HR. Muslim)

Semoga ibadah puasa kita diterima oleh Allah dan memberikan dampak positif bagi perjalanan kehidupan kita di hari-hari yang akan datang. Wallahul musta’aan; hanya kepada Allah kita senantiasa meminta pertolongan dan bantuan atas segala urusan.

Yogyakarta, 4 Syawwal 1438 H


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/tausiyah-bada-ramadhan/